Warisan Kesultanan di Balik STC dan Kebangkitan Nasionalisme Arabia Selatan
Sejarah panjang Yaman Selatan kembali mengemuka seiring menguatnya Dewan Transisi Selatan (STC) dan wacana kemerdekaan Arabia Selatan. Di balik dinamika politik modern, terdapat warisan kesultanan lama yang sejak berabad-abad membentuk pola kekuasaan, identitas, dan cara pandang elite selatan terhadap negara dan persatuan.
Kesultanan Yafa menjadi contoh paling menonjol dari warisan tersebut. Berdiri sejak sekitar abad ke-15, Yafa bukan sekadar kerajaan tunggal, melainkan konfederasi suku kuat yang hidup di wilayah pegunungan strategis antara Lahij, Abyan, dan Dhale. Dari awal, Yafa dibangun di atas prinsip otonomi, solidaritas klan, dan penolakan terhadap kekuasaan terpusat.
Pembelahan Yafa menjadi Upper Yafa dan Lower Yafa sejak abad ke-17 memperlihatkan kecanggihan politik lokal. Pemisahan itu lahir dari kombinasi faktor geografis, keseimbangan klan, serta perbedaan orientasi politik antara pedalaman dan wilayah yang lebih dekat ke jalur perdagangan pesisir. Inggris hanya menginstitusionalisasikan struktur ini saat membentuk Protektorat Aden.
Dalam Federasi Arab Selatan yang dibentuk Inggris pada 1960-an, Yafa—khususnya Lower Yafa—menjadi salah satu pilar penting. Elite Yafa mengisi struktur militer dan keamanan, sekaligus mempertahankan identitas politik yang tidak sepenuhnya tunduk pada pusat federasi. Warisan ini menjelaskan mengapa tokoh-tokoh berlatar Yafa hari ini menempati posisi kunci dalam STC.
Konflik Yafa dengan Kesultanan Lahej juga membentuk karakter politik selatan. Lahej sebagai kesultanan yang dekat dengan Inggris dan menguasai wilayah Aden sering dipandang Yafa sebagai perpanjangan kekuatan luar. Ketegangan ini membuat Yafa mengembangkan tradisi militer mandiri dan sikap curiga terhadap pemerintahan pusat, sebuah pola yang berulang dalam konflik STC dengan pemerintah Yaman saat ini.
Warisan Upper–Lower Yafa tercermin jelas dalam struktur STC modern. STC bukan partai ideologis tunggal, melainkan koalisi kekuatan lokal dengan otonomi besar di tingkat wilayah. Ini menyerupai konfederasi kesultanan lama ketimbang negara nasional terpusat, sebuah konsep yang sangat akrab bagi elite selatan.
Namun Yafa bukan satu-satunya kesultanan warisan Federasi Arab Selatan yang kini menjadi basis sosial STC. Kesultanan Lahej, meski historisnya dekat dengan Inggris, memiliki pewaris dan jaringan sosial yang mendukung kemerdekaan selatan sebagai cara mengembalikan martabat politik lama yang hilang pasca 1967.
Kesultanan Fadhli di Abyan juga memainkan peran penting. Wilayah Fadhli sejak lama memiliki hubungan tegang dengan Sana’a dan merasa terpinggirkan setelah unifikasi 1990. Banyak tokoh lokal Fadhli melihat STC sebagai kendaraan untuk memulihkan otonomi historis mereka.
Kesultanan Audhali di Dhale dan wilayah sekitarnya menjadi salah satu basis militer paling loyal bagi STC. Dhale dikenal sebagai daerah dengan tradisi perlawanan keras, dan warisan kesultanan Audhali membentuk budaya politik yang menolak dominasi utara.
Di pesisir timur, Kesultanan Mahra memiliki posisi yang lebih ambigu. Secara historis, Mahra adalah kesultanan terpisah dengan identitas kuat dan bahasa sendiri. Sebagian elite Mahra menolak dominasi STC, namun sebagian pewaris kesultanan melihat kemerdekaan selatan sebagai peluang mempertahankan identitas Mahri dari tekanan Sana’a maupun Houthi.
Hadramaut memiliki sejarah lebih kompleks. Wilayah ini dulunya terbagi dalam berbagai kesultanan, seperti Kathiri dan Qu’aiti, yang memiliki jaringan dagang global hingga Asia Tenggara. Sebagian pewaris kesultanan Hadramaut mendukung gagasan negara selatan, tetapi menolak dominasi tunggal STC dan menginginkan otonomi federatif yang luas.
Dukungan pewaris kesultanan terhadap STC sering kali bersifat politis dan simbolik. Banyak dari mereka kini bermukim di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, atau negara Teluk lain, setelah terusir pasca kemenangan kaum kiri pada 1967. Dari pengasingan, mereka membangun jaringan finansial, media, dan diplomasi informal.
Di Teluk, para pewaris kesultanan ini kerap tampil dalam forum budaya, pertemuan diaspora, dan media sosial, menghidupkan kembali simbol bendera, lambang, dan narasi negara selatan. Dukungan mereka memberi STC legitimasi historis yang tidak dimiliki pemerintah Yaman modern.
Bagi STC, warisan kesultanan menjadi alat penting untuk menegaskan bahwa kemerdekaan Arabia Selatan bukan proyek baru, melainkan “pemulihan negara” yang pernah ada. Narasi ini sengaja dipertegas dalam parade militer, perayaan hari kemerdekaan, dan simbol-simbol pra-1990.
Namun warisan ini juga membawa tantangan. Struktur konfederatif ala kesultanan membuat STC harus terus menyeimbangkan kepentingan Yafa, Lahej, Dhale, Abyan, dan Hadramaut. Tanpa konsensus, risiko konflik internal selatan tetap besar.
Dalam konteks inilah, pengaruh Yafa terlihat dominan tetapi tidak absolut. Elite Yafa memahami bahwa dominasi berlebihan justru akan memicu perlawanan kesultanan lain, sebagaimana terjadi dalam sejarah federasi kolonial dulu.
Hubungan dengan pemerintah Yaman dan PLC semakin menyerupai konflik lama antara kesultanan selatan dan kekuasaan pusat. Seperti di masa lalu, legitimasi de jure berada di satu pihak, sementara kekuasaan de facto tersebar di tangan banyak aktor lokal.
Warisan kesultanan juga menjelaskan mengapa konsep negara kesatuan sulit diterima di selatan. Bagi banyak masyarakat selatan, negara ideal bukanlah pusat kuat di Sana’a atau Aden, melainkan federasi longgar yang menghormati otonomi lokal.
Dalam situasi sekarang, STC berdiri di persimpangan sejarah. Ia mewarisi kekuatan dan kelemahan sistem kesultanan lama: kuat dalam solidaritas lokal, namun rapuh dalam membangun negara modern yang inklusif.
Apakah Arabia Selatan akan lahir sebagai negara konfederatif ala kesultanan, atau berubah menjadi negara terpusat baru, masih menjadi pertanyaan terbuka. Yang jelas, tanpa memahami Yafa dan kesultanan-kesultanan lama, sulit membaca arah masa depan Yaman Selatan.
LATAR BELAKANG
Dorongan kuat warga Yafa (Yāfi‘) terhadap kemerdekaan Yaman Selatan / South Arabia tidak lepas dari sejarah, posisi politik, dan kepentingan kekuasaan mereka sejak era Federasi Aden, bukan semata faktor ideologis. Ada beberapa lapisan penjelasan penting.
Pertama, Yafa adalah salah satu kelompok paling diuntungkan secara historis di Yaman Selatan. Pada masa kolonial Inggris, wilayah Yafa merupakan bagian penting dari Federation of South Arabia dan Protectorate of Aden. Elit Yafa—terutama para syaikh dan keluarga berpengaruh—memiliki hubungan langsung dengan otoritas Inggris, memperoleh otonomi luas, akses ekonomi, dan pengakuan politik yang tidak dimiliki banyak wilayah selatan lain. Memori kolektif ini masih sangat kuat.
Kedua, Aden secara politik tidak pernah benar-benar terlepas dari pengaruh Yafa. Banyak tokoh militer dan keamanan penting Yaman Selatan—baik pada era Republik Demokratik Rakyat Yaman (PDRY) maupun pasca-2015—berasal dari Yafa dan Dhale. Presiden STC, Aidarous al-Zubaidi, juga berasal dari Dhale-Yafa belt. Ini membuat warga Yafa merasa bahwa negara selatan merdeka akan secara alami dipimpin oleh poros Yafa–Dhale–Aden, bukan oleh elite utara atau Hadramaut.
Ketiga, pengalaman pahit pasca penyatuan 1990 sangat menentukan. Yafa termasuk kelompok yang paling cepat dimarginalkan oleh rezim Sana’a setelah perang 1994. Banyak perwira, birokrat, dan pedagang Yafa kehilangan posisi, tanah, dan pengaruh. Sejak itu, narasi dominan di Yafa adalah bahwa persatuan Yaman = kehilangan status, sementara pemisahan = pemulihan martabat dan kekuasaan.
Keempat, secara sosiologis, Yafa memiliki identitas kesukuan yang kuat dan militeristik. Mereka terbiasa mengelola wilayah sendiri dan relatif tidak nyaman berada di bawah otoritas pusat yang kuat—baik Sana’a maupun Riyadh. Model negara yang mereka bayangkan bukan negara kesatuan kuat, melainkan negara selatan dengan keseimbangan antarsuku, di mana Yafa menjadi salah satu pilar utama.
Kelima, dibanding Hadramaut atau Mahra, Yafa tidak memiliki alternatif politik lain selain negara selatan. Hadramaut masih bisa bermimpi federasi sendiri atau integrasi ekonomi dengan Saudi, Mahra bisa bermain dengan Oman, tapi Yafa hanya punya Aden dan Selatan. Karena itu, mereka menjadi pendorong paling konsisten dan militan kemerdekaan.
Keenam, dalam konteks STC, warga dan elite Yafa melihat kemerdekaan South Arabia sebagai jaminan kesinambungan kekuasaan mereka. Selama status Yaman masih “satu negara”, STC selalu rentan ditekan Saudi, PLC, atau kompromi internasional. Negara merdeka—meski tak diakui—akan mengunci dominasi mereka atas Aden, Lahij, Dhale, dan sebagian Abyan.
Ketujuh, istilah “South Arabia” sendiri lebih disukai sebagian elite Yafa karena menghapus bayang-bayang konflik internal Yaman Selatan masa lalu (Aden vs Hadramaut, Sosialis vs Tradisional). Nama itu juga menghidupkan kembali memori Federation of South Arabia, di mana Yafa dulu bukan pihak pinggiran, melainkan aktor utama.
Singkatnya, ya—dorongan kemerdekaan warga Yafa sangat terkait dengan posisi historis dan pengaruh mereka di Federasi Aden dulu. Bagi Yafa, kemerdekaan bukan sekadar proyek nasionalisme, tetapi upaya restorasi tatanan lama di mana mereka berada dekat pusat kekuasaan politik, militer, dan ekonomi.
Warisan Kesultanan di Balik STC dan Kebangkitan Nasionalisme Arabia Selatan
Reviewed by peace
on
5:54 PM
Rating:





