Riwayat Jonggi Manoar
JONGGI MANOWAR: SULTAN DI SAGALA LIMBONG TOBA*
Lembaga Jonggi Manoar atau Menawar merupakan lembaga raja atau perwakilan raja yang dibentuk oleh Tuanku Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Di Hulu), saat berkunjung ke Luat Sagala Limbong di Toba. Pasaribu, Limbong dan Sagala merupakan keturunan Tatea Bulan.
Diceritakan, melalui, Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir. Manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia.
Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.
Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Tatea Bulan/Borbor yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.
Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.
Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.
"Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana." Demikian bunyi sejarahnya.
Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.
Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.
"Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya."
Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.
"Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan."
Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.
Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa
"Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota." Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.
Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.
Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.
Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).
Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, Negeri Dairi, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.
Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.
Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.
Upacara tersebut selalu dipimpin oleh Raja Jonggi Manoar. Kebiasaan ini bahkan sudah terlembagakan dalam adat. Diyakini tujuan utamanya dahulu adalah motif politik dan ekonomi. Motif politiknya adalah bahwa pihak Kesultanan Barus sangat membutuhkan dukungan politik dan moral kepada kelangsungan Kesultanan. Di lain pihak, kehadiran perwakilan Kesultanan di Toba sangat dibutuhkan sebagai pemimpin dan penengah di tengah-tengah masyarakat Toba yang terpecah-pecah dan selalu bertikai. Kehadiran mereka juga merupakan persyaratan adat dengan keharusan menghadirkan perwakilan dari keturunan Raja Uti agar upacara adat dan agama menjadi sah. Raja Uti sendiri merupakan tokoh spiritual dalam masyarakat Batak. Khusunya bagi kalangan Parbaringin dan Parmalim.
Motif ekonominya adalah untuk menjamin kesinambungan hubungan dagang antar dua komunitas Batak. Daerah Toba merupakan daerah pertanian yang menghasilkan banyak komoditas dagang. Sementara itu, daerah Batak Pesisir merupakan pelabuhan tempat keluarnya komoditas tersebut ke pedagang-pedagang asing.
Lembaga Jonggi Manoar yang dibentuk oleh Sultan Marah Laut merupakan media penghubung antar peradaban Batak di dua kerajaan; Kesultanan Batak di Barus dan Kerajaan Batak Sisingamangaraja.
Penulis sejarah Batak kemudian mengenal Jonggi Manoar sebagai sebuah lembaga perlengkapan adat. Lembaga Jonggi Manoar, menurut Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Komunitas Bambu, Jakarta 2004, Hal 226-228, merupakan tradisi penggambaran pendeta raja. Yang mempunyai hubungan istimewa dengan Raja Uti/Barus yang Hindu (?).
"Dikatakan bahwa Jonggi Manoar memperoleh kesaktiannya dari Raja Uti lewat pelaksanaan 'somba' sebagai ritual berkala…"
"Bahkan diklaim bahwa di masa lalu semua wilayah Toba mengirim sombanya kepada Raja Uti harus lewat Jonggi Manoar…"
"Menjadi tradisi bahwa setiap Sisingamangaraja baru, selain di upacara-upacara khusus di gelanggang berbagai onan wilayah Toba, utusan Raja Barus selalu diundang hadir sebagai kesempatan mengenalnya, yaitu sebagai pada upacara 'perkenalan' Sisingamangaraja di daerah Humbang."
Namun dengan punahnya kesultanan Barus maka berakhir pula tradisi dan kebiasaan tersebut di atas.
*Ditulis oleh Julkifli Marbun, pemerhati sejarah tinggal di Jakarta dapat dihubungi di pakkatnauli@yahoo.com.
Lembaga Jonggi Manoar atau Menawar merupakan lembaga raja atau perwakilan raja yang dibentuk oleh Tuanku Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Di Hulu), saat berkunjung ke Luat Sagala Limbong di Toba. Pasaribu, Limbong dan Sagala merupakan keturunan Tatea Bulan.
Diceritakan, melalui, Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir. Manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia.
Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.
Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Tatea Bulan/Borbor yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.
Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.
Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.
"Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana." Demikian bunyi sejarahnya.
Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.
Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.
"Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya."
Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.
"Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan."
Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.
Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa
"Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota." Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.
Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.
Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.
Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).
Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, Negeri Dairi, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.
Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.
Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.
Upacara tersebut selalu dipimpin oleh Raja Jonggi Manoar. Kebiasaan ini bahkan sudah terlembagakan dalam adat. Diyakini tujuan utamanya dahulu adalah motif politik dan ekonomi. Motif politiknya adalah bahwa pihak Kesultanan Barus sangat membutuhkan dukungan politik dan moral kepada kelangsungan Kesultanan. Di lain pihak, kehadiran perwakilan Kesultanan di Toba sangat dibutuhkan sebagai pemimpin dan penengah di tengah-tengah masyarakat Toba yang terpecah-pecah dan selalu bertikai. Kehadiran mereka juga merupakan persyaratan adat dengan keharusan menghadirkan perwakilan dari keturunan Raja Uti agar upacara adat dan agama menjadi sah. Raja Uti sendiri merupakan tokoh spiritual dalam masyarakat Batak. Khusunya bagi kalangan Parbaringin dan Parmalim.
Motif ekonominya adalah untuk menjamin kesinambungan hubungan dagang antar dua komunitas Batak. Daerah Toba merupakan daerah pertanian yang menghasilkan banyak komoditas dagang. Sementara itu, daerah Batak Pesisir merupakan pelabuhan tempat keluarnya komoditas tersebut ke pedagang-pedagang asing.
Lembaga Jonggi Manoar yang dibentuk oleh Sultan Marah Laut merupakan media penghubung antar peradaban Batak di dua kerajaan; Kesultanan Batak di Barus dan Kerajaan Batak Sisingamangaraja.
Penulis sejarah Batak kemudian mengenal Jonggi Manoar sebagai sebuah lembaga perlengkapan adat. Lembaga Jonggi Manoar, menurut Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Komunitas Bambu, Jakarta 2004, Hal 226-228, merupakan tradisi penggambaran pendeta raja. Yang mempunyai hubungan istimewa dengan Raja Uti/Barus yang Hindu (?).
"Dikatakan bahwa Jonggi Manoar memperoleh kesaktiannya dari Raja Uti lewat pelaksanaan 'somba' sebagai ritual berkala…"
"Bahkan diklaim bahwa di masa lalu semua wilayah Toba mengirim sombanya kepada Raja Uti harus lewat Jonggi Manoar…"
"Menjadi tradisi bahwa setiap Sisingamangaraja baru, selain di upacara-upacara khusus di gelanggang berbagai onan wilayah Toba, utusan Raja Barus selalu diundang hadir sebagai kesempatan mengenalnya, yaitu sebagai pada upacara 'perkenalan' Sisingamangaraja di daerah Humbang."
Namun dengan punahnya kesultanan Barus maka berakhir pula tradisi dan kebiasaan tersebut di atas.
*Ditulis oleh Julkifli Marbun, pemerhati sejarah tinggal di Jakarta dapat dihubungi di pakkatnauli@yahoo.com.
Riwayat Jonggi Manoar
Reviewed by peace
on
12:50 PM
Rating: