Menguak Jejak Awal Islam di Tanah Papua
Pulau Papua yang selama ini dikenal dengan kekayaan alamnya ternyata juga menyimpan jejak sejarah panjang masuknya agama Islam. Bukti-bukti fisik dan tradisi yang masih bertahan hingga kini mengungkap bahwa Islam telah lebih dulu hadir di bumi Cendrawasih, jauh sebelum penyebaran agama-agama lain. Dari peninggalan naskah kuno hingga makanan tradisional yang bercorak Islam, sejarah kehadiran Islam di Papua kini mulai terangkat ke permukaan.
Salah satu bukti nyata yang masih bisa ditemui hingga hari ini adalah living monument berupa makanan Islam kuno. Di wilayah Papua kuno, seperti desa Saonek, Lapintol, dan Beo yang berada di distrik Waigeo, jenis makanan tradisional yang diyakini berasal dari budaya Islam masih dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Ini menjadi petunjuk penting bahwa Islam sudah mengakar di budaya masyarakat sejak lama.
Selain dari makanan, tradisi lisan juga menjadi sumber utama sejarah lisan tentang masuknya Islam di Papua. Cerita dari mulut ke mulut tentang tokoh-tokoh penyebar Islam, kisah-kisah perjalanan dakwah, serta kisah kerajaan-kerajaan yang menganut ajaran Islam terus hidup hingga sekarang di tengah masyarakat adat Papua. Cerita ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk pelestarian identitas kultural dan spiritual mereka.
Di sisi lain, naskah-naskah kuno dari masa pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal seperti Raja Ampat menjadi bukti tertulis yang menguatkan eksistensi Islam di tanah Papua. Beberapa masjid tua di daerah ini bahkan masih menyimpan teks-teks kuno bertuliskan huruf Arab yang mencerminkan aktivitas keagamaan Islam yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Fakfak, sebuah wilayah di Papua Barat, menjadi salah satu lokasi yang paling kaya akan peninggalan Islam. Di sana ditemukan delapan manuskrip kuno yang semuanya menggunakan huruf Arab. Lima di antaranya berbentuk kitab dengan ukuran bervariasi. Salah satu mushaf Al-Quran bahkan ditulis tangan di atas kulit kayu, menunjukkan metode penulisan khas masa lampau yang sangat langka dan berharga tinggi dalam dunia filologi.
Kitab-kitab lain yang ditemukan berisi materi ajaran Islam seperti hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Salah satu kitab itu bahkan bersampul kulit rusa, menambah kekhasan lokal yang berpadu dengan ajaran Islam. Keberadaan manuskrip-manuskrip ini diyakini berasal dari tahun 1214, dibawa oleh ulama bernama Syekh Iskandarsyah yang berasal dari Kesultanan Samudra Pasai.
Ekspedisi Syekh Iskandarsyah ke wilayah timur Nusantara diyakini sebagai bagian dari upaya penyebaran Islam yang terorganisir. Mereka masuk melalui Mes, yang saat itu menjadi ibu kota Teluk Patipi. Fakta ini menambah daftar panjang peran Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam tertua di Indonesia yang tidak hanya menyebar ke barat, tetapi juga menjangkau wilayah timur seperti Papua.
Tiga manuskrip lain yang ditemukan di Fakfak ditulis di atas daun koba-koba, sejenis pohon khas Papua yang kini mulai langka. Tulisan tersebut disimpan dalam tabung bambu, bentuk penyimpanan yang unik dan menunjukkan proses akulturasi budaya lokal dengan tradisi literasi Islam. Manuskrip-manuskrip ini secara visual menyerupai lontar yang umum dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
Keunikan bentuk dan bahan naskah-naskah tersebut membuatnya sangat berharga, bukan hanya secara keagamaan tetapi juga sebagai warisan budaya nasional. Para peneliti meyakini bahwa bentuk ini adalah hasil adaptasi dari tradisi tulis lokal yang kemudian digunakan untuk mencatat ilmu-ilmu keislaman. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Papua tidak hanya menerima ajaran Islam, tapi juga aktif dalam mengembangkannya sesuai konteks lokal.
Tak hanya manuskrip, Papua juga menyimpan peninggalan bangunan Islam kuno. Masjid Patimburak yang terletak di tepi Teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak, menjadi salah satu masjid tertua di Papua. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe. Keberadaan masjid ini mencerminkan eksistensi Islam sebagai agama kerajaan dan bukan semata-mata keyakinan rakyat biasa.
Masjid Patimburak hingga kini masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah masyarakat setempat. Arsitekturnya yang khas dengan sentuhan lokal menjadi simbol perpaduan antara nilai-nilai Islam dan kebudayaan Papua. Masjid ini bukan hanya bangunan religi, tetapi juga penanda sejarah dan identitas komunitas Muslim Papua yang telah hidup berdampingan selama ratusan tahun.
Jejak-jejak sejarah tersebut menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama pendatang baru di Papua. Akar sejarah dan kebudayaannya sudah mengakar kuat sejak abad ke-13. Bahkan sebelum kolonialisme masuk dan membawa pengaruh agama lain, Islam telah hadir lebih dulu sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Papua.
Bukti-bukti ini menguatkan pandangan bahwa dakwah Islam di Papua tidak dilakukan dengan paksaan atau kekerasan. Penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan damai, perdagangan, dan pernikahan dengan masyarakat lokal, seperti yang terjadi di banyak wilayah lain di Nusantara. Pola ini menjadi ciri khas Islamisasi di Indonesia yang bersifat inklusif dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Seiring dengan berkembangnya penelitian sejarah Islam di kawasan timur Indonesia, Papua mulai mendapat perhatian lebih sebagai bagian dari peradaban Islam yang besar. Peninggalan-peninggalan itu juga mendorong semangat masyarakat lokal untuk menjaga, merawat, dan mengkaji lebih dalam warisan Islam yang mereka miliki. Kesadaran ini menjadi energi penting dalam menjaga identitas mereka di tengah modernisasi.
Para akademisi dan lembaga kebudayaan kini mulai intensif melakukan dokumentasi terhadap manuskrip dan tradisi Islam di Papua. Harapannya, warisan ini tidak hanya disimpan secara lokal, tetapi juga dapat diakui sebagai kekayaan nasional yang memperkaya sejarah dan keragaman Islam di Indonesia. Bahkan, UNESCO pun disebut-sebut tertarik untuk meninjau beberapa warisan budaya Islam Papua ini.
Papua, yang selama ini sering dianggap berada di pinggiran sejarah nasional, kini justru menunjukkan bahwa mereka memiliki warisan sejarah Islam yang sangat tua dan kaya. Warisan ini menjadi pengingat bahwa Islam di Indonesia menyebar secara luas dan tidak terbatas hanya pada wilayah barat Nusantara. Tanah Papua telah lama menjadi bagian dari jaringan besar peradaban Islam.
Dengan terkuaknya bukti-bukti ini, narasi tentang Papua sebagai daerah yang terlambat tersentuh Islam patut dikoreksi. Fakta sejarah justru menunjukkan bahwa Islam telah lebih dulu hadir dan beradaptasi dengan budaya setempat sejak lebih dari delapan abad lalu. Ini menjadi pembuktian bahwa Bumi Cendrawasih adalah bagian sah dari mozaik besar peradaban Islam di nusantara.
Ke depan, tantangan terbesar adalah menjaga warisan ini agar tidak punah dan tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Papua. Baik manuskrip, masjid, maupun tradisi lisan harus didokumentasikan, diajarkan, dan dilestarikan sebagai bagian dari pendidikan sejarah dan budaya bangsa. Papua bukan hanya kaya akan alam, tapi juga kaya akan sejarah spiritual yang membanggakan.
Menguak Jejak Awal Islam di Tanah Papua
Reviewed by peace
on
3:14 PM
Rating: